Pada pertemuan sebelumnya telah dijelaskan pembagian fase usia anak berkenaan dengan aturan meminta izin. Berikut ini beberapa adab meminta izin yang perlu diajarkan pada anak:
Pertama: Memilih waktu yang tepat.
Jangan meminta izin untuk masuk di waktu-waktu seperti pagi buta, tengah hari atau larut malam. Kecuali bila ada kepentingan yang mendesak.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah hamba sahaya kalian (lelaki atau wanita) dan anak-anak kalian yang belum baligh, mereka meminta izin kepada kalian di tiga waktu. Yaitu sebelum shalat Shubuh, ketika kalian melepas pakaian (luar) kalian di tengah hari dan sesudah shalat Isya. (Itulah) tiga aurat kalian”. QS. An-Nur (24): 58.
Kedua: Mengetuk pintu sebanyak tiga kali.
Baik ketika akan masuk kamar atau rumah orang lain. Bila dipersilahkan, maka masuklah. Namun bila tidak diizinkan, maka hendaklah ia kembali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“إِذَا اسْتَأْذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلاَثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَرْجِعْ“
“Bila salah seorang dari kalian meminta izin tiga kali, lalu tidak diizinkan; maka hendaklah ia kembali”. HR. Bukhari dan Muslim.
Ketiga: Mengetuk pintu secara proporsional.
Maksudnya tidak terlalu keras, sehingga mengagetkan orang yang di dalam. Juga tidak terlalu lirih, yang mengakibatkan ketukan tidak terdengar. Pernah ada seorang wanita berkunjung ke rumah Imam Ahmad dan mengetuk pintu dengan keras. Maka Imam Ahmad pun berkomentar, “Ini adalah ketukan pintu ala aparat keamanan”.
Keempat: Memberi jeda waktu antara satu ketukan dengan ketukan berikutnya.
Sebab dengan mengetuk pintu terus menerus, akan mengganggu ketenangan penghuni rumah atau kamar. Juga bisa membuatnya kaget.
Kelima: Tidak berdiri pas menghadap pintu.
Namun hendaklah mengambil posisi di sisi kanan atau sisi kiri pintu. Jangan menghadap langsung ke pintu, supaya saat tuan rumah membuka pintu, isi rumah atau kamar tidak langsung terlihat oleh Anda. Barangkali ada hal-hal yang kurang etis untuk terlihat.
Inilah etika yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «إِذَا أَتَى بَابَ قَوْمٍ لَمْ يَسْتَقْبِلِ الْبَابَ مِنْ تِلْقَاءِ وَجْهِهِ، وَلَكِنْ مِنْ رُكْنِهِ الْأَيْمَنِ، أَوِ الْأَيْسَرِ، وَيَقُولُ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ» وَذَلِكَ أَنَّ الدُّورَ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا يَوْمَئِذٍ سُتُورٌ
Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila bertamu, beliau tidak menghadap pas ke arah pintu. Namun beliau berdiri di sisi kanan atau kiri seraya mengucapkan, “Assalamu’alaikum. Assalamu’alaikum”. Hal itu disebabkan pada waktu itu rumah-rumah belum dilengkapi tirai”. HR. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh adh-Dhiya’ al-Maqdisiy juga al-Albaniy.
Bersambung…
@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 22 Rabi’ul Awwal 1439 / 11 Desember 2017